Legenda Yogyakarta
Legenda Yogyakarta
(Diceritakan kembali oleh Yuhnan Yusuf)
Konon, Sunan Kalijaga berumur hingga 100 tahun lebih. Beliau mengalami masa akhir Majapahit, Kesultanan Demak, Cirebon, Pajang dan awal Kesultanan Mataram.
Kesultanan Mataram bermula dari Ki Ageng Pemanahan dihadiahi Hutan Mentaok oleh Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Hadiah itu diberikan karena anak Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutawijaya, dengan bersenjatakan tombak Kyai Pleret berhasil membunuh adipati dari Jipang Panolan, Aryo Penangsang, yang sedang memberontak.
Sunan Kalijaga pernah bersabda,“Kelak, Hutan Mentaok ini akan menjadi negeri yang makmur. Kemakmuran terwujud ketika air Kali Progo bertemu dengan air Kali Opak.”
Ki Ageng Pemanahan bersama Danang Sutawijaya membuka Hutan Mentaok. Setelah Ki Ageng Pemanahan beranjak tua, pemerintahan dipegang oleh Danang Sutawijaya sendiri. Hutan itu menjadi Kademangan Mataram yang ramai. Rakyatnya sangat arif saat membuka lahan. Mereka tidak memotong pohon yang di dekatnya ada mata air, agar airnya tetap mengalir.
Danang Sutawijaya berhasil mengobarkan semangat membangun pada rakyatnya. Keberhasilan itu membuat iri para adipati. Puncak rasa iri itu terjadi ketika Danang Sutawijaya membangun benteng tinggi dan menanam pohon beringin di alun-alun, karena hal itu hanya boleh dilakukan oleh seorang raja. Sultan Hadiwijaya murka atas tindakan Danang itu. Namun, Sultan Hadiwijaya harus berpikir berkali-kali untuk menyerang anak angkatnya sendiri.
Merasa akan diserang Kerajaan Pajang, Danang pergi ke Kali Opak untuk tapa ngeli, yaitu bertapa dengan mengikatkan badannya pada sepotong kayu jati dan mencebur ke Kali Opak. Ia terbawa aliran air sungai yang menuju laut selatan. Sampai di muara Kali Opak, Danang Sutawijaya bertemu wanita cantik berkebaya hijau. Wanita yang bisa berdiri di atas air itu berkata,“Aku adalah Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Apa sebab kau ke tempat ini?’’ Ratu Kidul adalah manusia tidak kasatmata, sudah bebas dari kematian dan ketuaan serta luput dari perhitungan waktu. “Mohon maaf atas kelancangan hamba, Ratu. Saya Danang Sutawijaya, menginginkan Kademangan Mataram menjadi kerajaan besar,” jawab Danang Sutawijaya.
“Aku akan membantumu. Tapi syaratnya, Kau dan raja-raja Mataram mau mengangkatku menjadi istri,” kata Ratu Kidul. Danang tercengang mendengar syarat itu. “Itu bukan syarat namanya, tapi anugerah bagi saya. Dengan senang hati, saya menerima syarat itu, Ratu,” Jawab Danang. Ratu Kidul berkata,“Bagus. Aku akan membantumu. Semoga Mataram menjadi kerajaan yang besar.”
Setelah kejadian itu, Danang ke rumah pamannya yang bernama Ki Juru Penjawi, seorang ahli perang. Ki Juru Penjawi memberinya nasihat,“Kau harus bertapa di Gunung Merapi untuk belajar siasat perang pada penguasa Gunung Merapi, Ki Sapujagad dan Ki Udanangga. Mereka juga manusia tidak kasatmata.”
Sementara itu, Sultan Hadiwijaya di Kesultanan Pajang bersiap menyerang Kademangan Mataram. “Kakang Patih, bentuklah laskar prajurit pilihan dan berangkatlah ke Kademangan Mataram. Robohkan benteng dan beringin di alun-alun!” perintah Sultan Hadiwijaya. Namun, keajaiban terjadi. Saat prajurit Pajang akan menyerang di waktu malam, tiba-tiba langit menjadi hitam. Hujan badai datang, petir menggelegar. Dari muara Kali Opak, terasa bumi digoyang-goyang. Terjadilah gempa. Lalu terdengarlah ledakan dahsyat dari Gunung Merapi yang meletus. Lahar panasnya meleleh berwarna merah. Sungguh menakutkan.
Ki Juru Mertani menyilangkan tangannya di depan dada. Ia berteriak lantang dilambari tenaga sakti,“Ini anugerah Tuhan … ayo hamuk … bantuan Gunung Merapi datang … bantuan Laut Kidul datang … ayo gempur!” teriakan itu membuat miris para prajurit Pajang.
“Kita tunda penyerangan!” perintah panglima perang Pajang. Perang tidak terjadi. Korban jiwa terhindarkan. Para prajurit Pajang Mundur. Sejak saat itu, Sultan Hadiwijaya sakit karena jatuh dari punggung gajah Kyai Liman. Setelah Sultan Hadiwijaya mangkat, pemerintahan Pajang berpindah ke Mataram. Danang Sutawijaya menjadi rajanya, dan dikenal dengan Panembahan Senopati.
Setelah Panembahan Senopati wafat, ia digantikan oleh Panembahan Hanyokrowati. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Panembahan Hanyokrowati wafat saat berburu di Hutan Krapyak. Setelah itu, tahta beralih ke Adipati Martoputro yang menderita sakit saraf, lalu tahta dipegang Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Pemerintahan Sultan Agung sangat jaya. Sultan Agung pernah dua kali menyerang Belanda di Batavia. Ketika Sultan Agung wafat, tahta dipegang Amangkurat I. Waktu itu Belanda berhasil mengadu domba kerabat kerajaan. Terjadilah perpecahan yang ditandai dengan Perjanjian Giyanti.
Perjanjian tersebut membagi Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Kasultanan Ngayogyakarta dan dikenal dengan Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Sabda Sunan Kalijaga menjadi kenyataan. Pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dibangunlah selokan Mataram yang mempertemukan air Kali Progo dan Kali Opak. Berkat selokan itu, pertanian di Yogyakarta menjadi maju. Rakyatnya sejahtera dan murah sandang pangan.
https://slbn1gunungkidul.sch.id/1262-2/Artikel